![]() |
Foto cuma ilustrasi dari mbah google |
"Sekarang Saya kok kurang simpatik dengan Koalisi ini. Kok sekrang getol memperjuangkan Pilkada tidak langsung yakni dipilih oleh DPRD apa ini nggak kemunduran," kata Cak Manan memulai obrolan warung kopi di Warkop pinggir Jalan. Mak Ujug-ujug (tiba-tiba) datang Jainul, mantan Aktivis yang kini hanya jadi pengamat diluar gelanggang saja.
"Sekarang kalau Pilkada Langsung dan Pilkada Tidak langsung untungnya buat sampean apa seh cak. Kok sampek bersungut-sungut gitu," ujar Jainul kepada Cak Manan yang sejak tadi mencureng.
"Gimana nggak kecewa. momentum pilkada sudah berjalan 15 tahun di negeri ini. Semuanya dipilih langsung oleh rakyat. Dan nggak ada masalah. Lha ini kok tiba-tiba digulirkan Pilkada dipilih oleh DPRD. Ini khan namanya kemunduran. Dulu zamannya eyang kakung khan seperti itu," Cak Manan sambil mengambil rokok eceran di warkop tersebut.
Jainul pun menanggapi serius pernyataan Cak Manan itu. "Sekarang kita berpikir logis saja cak dalam berpolitik. Saya tanya ke sampean. Kalau Pilkada Langsung atau tidak langsung siapa yang untung dan siapa yang buntung," tanya Jainul kepada Cak Manan. Dan Mak Ujug-ujug lagi Cak Khoiri yang sejak dulu berada di Warkop menyimak obrolan dua orang ini. "Ya kalau Pilkada Langsung yang untung ya banyak Nul... Tapi kalau tidak langsung yang untung khan sedikit," celethuk Cak Khoiri.
"Lhaa,, kok bisa gitu cak," tanya Jainul sembari menoleh kepada Cak Khoiri. "Contohnya ya Cak Manan ini nanti bakal rugi besar tidak ada penghasilan musiman saat momentum Pilkada. Wong orang-orang sudah tidak memerlukan Baliho atau banner, Kaos, atribut untuk berkampanye. Semuanya khan tergantung DPRD setempat. Nggak ada lagi pasang begituan. Belum lagi, Job- joban EO untuk Kampanye. Termasuk pekerjaan sebagai lembaga survei, Tim Sukses dan lain-lain juga bakal nggak ada wong semuanya tergantung wakil rakyat kita. Nah ada lagi, nggak bakalan ada rakyat yang menanti serangan fajar wong rakyat sudah nggak milih kok," terang Cak Khoiri panjang dan lebar.
"Wah.. lhaa iya itu cak. Meski saya bukan tukang percetakann minimlam saya khan sering jadi makelar nyarikan order cetakkan baliho, banner, koas dari percetakkan Kang Ismail tetangga sebelah. Kalau Orderan tim sukses sih nggak pernah tapi sesekali pernah dimintai tolong untuk mengkordinir massa," tambah Cak Manan. "Wah kalau sudah begini untung dan ruginya di Sampean cak manan. Bukan untuk bangsa dan negara ini," Jainul menimpali.
"Bangsa dan negara ini siapa sih Nul? Ya kita ini khan. Apakah salah saat pesta demokrasi rakyat ikut sejenak menikmati money politik yang jumlahnya hanya cukup beli rokok saja. Saya malah khawatir ketika pilkada tidak langsung Money Politiknya tamabah gede-gede. Raknya nggak kebagian lagi. Minimal Pilkada Langsung khan juga menggerakkan perekonomian rakyat dari hasil percetakkan dan belum lagi usai pilkada juga menggerakkan ekonomi tukang loak," Cak Manan terus menerocos.
Jainul pun malas meladeni argumen Cak Manan dan Cak Khoiri itu. Pernyataan dua orang ini memang ada benarnya. Namun, di sisi lain pihak-pihak yang getol menggulirkan pilkada tidak langsung karena didasarkan membengkaknya anggaran. Padahal, anggaran itu khan bisa disiasati dengan cara menggelar Pilkada Serentak namun tetap melibatkan rakyat untuk menentukan siapa pemimpin mereka. Sebab, sesuai undang-undang khan kedulatan ada ditangan rakyat. Itulah amanah konstitusi. Ahh.. ini khan bagian dari hingar - bingar politik negeri ini, guman Jainul dalam hati
Jainul pun tiba-tiba nylethuk ingin mengakhiri obrolan yang nggak ada duitnya itu. "Bagi saya nggak ada masalah cak. Mau Pilkada langsung atau tidak langsung wong setiap Pilkada saya Golput," celethuk Jainul. "Ohh.. Pancen Semprul kamu Nul," spontan Cak Manan yang diamini oleh Cak Khoiri. Karena obrolan itu nggak berujung, maka mereka bertiga pun mengobrol soal makelaran mobil....
COMMENTS